Harga Rokok di Indonesia Terlalu Murah

Harga Rokok di Indonesia Terlalu Murah

Harga rokok di Indonesia masih sangat murah jika dibandingkan negara lain, termasuk negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Laos. Di Singapura misalnya, harga rokok jika dirupiahkan sekitar Rp 90.000 - Rp100.000. Begitu pula di Malaysia.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan dari Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, murahnya harga rokok di Indonesia membuat anak-anak atau remaja masih sanggup untuk membeli rokok.

Kelompok usia anak-anak dan remaja di Indonesia yang merokok pun mengalami peningkatan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, perokok di Indonesia meningkat pada kelompok usia di atas 15 tahun, yaitu 34,2 persen (2007), 34,7 persen (2010), dan data terakhir mencapai 36,3 persen (2013).

Menurut Hasbullah, adanya pictorial health warning (PHW) atau peringatan kesehatan bergambar seram di bungkus rokok, belum terbukti efektif untuk menurunkan prevalensi perokok dan mencegah munculnya perokok baru.

“Satu-satunya jalan paling efektif menurunkan angka perokok yang sudah dibuktikan di dunia, adalah harga rokok dinaikkan,” tegas Hasbullah saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Salah satu contoh dilakukan pemerintah Thailand yang menaikkan cukai dan harga rokok. Tahun 1991, pemerintah Thailand menaikkan cukai rokok dari 55 persen menjadi 85 persen pada 2009. Alhasil, Thailand berhasil menurunkan prevalensi merokok hingga 11 persen. Thailand juga menggunakan 2 persen dari pendapatan cukai rokok dan alkohol untuk promosi kesehatan.

Menurut Hasbullah, pemerintah Indonesia harus menaikkan harga rokok secara bertahap minimal Rp 30.000 per bungkus pada 2019 mendatang. Selain itu, rokok tidak boleh dijual per batang.

Hasbullah pun menegaskan, petani tembakau tidak akan terpuruk jika konsumsi rokok menurun. Selama ini, penghasilan petani tembakau di Indonesia terbilang sedikit, karena industri rokok lebih banyak impor tembakau.

“Mereka (petani tembakau) justru dikorbanin untuk kepentingan industri rokok yang besar, karena kita (Indonesia) mengimpor 2/3 tembakau dari kebutuhan. Kalau pun konsumsi rokok berkurang, impornya bisa kita kurangi, bukan tembakau kita,” kata Hasbullah.

Menurut Hasbullah, pemerintah harus tegas jika ingin melindungi anak bangsa dari rokok. Jika sejak anak-anak atau remaja sudah merokok, maka mereka berisiko tinggi terkena penyakit tidak menular pada beberapa puluh tahun kemudian. Beban negara pun menjadi tinggi untuk mengobati penyakit terkait asap rokok.

“Indonesia surga bagi industri rokok, tapi neraka buat rakyatnya,” ucap Hasbullah.

Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) yang jatuh setiap tanggal 31 Mei ini pun, harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok dan asap rokok bagi orang-orang di sekelilingnya.( kompas )

Komentar